
Bisnis thrifting Dalam beberapa rilisan di media mainstream sebulan terakhir ini, santer kabar dari pemerintah yang menetapkan beleid pelarangan impor baju bekas dengan dalih menjaga kestabilan pasar tekstil lokal. Kalau di lihat lebih ke belakang, amandemen Permendag (Peraturan Menteri Perdagangan) No. 18 Tahun 2021 menjadi Permendag No. 40 Tahun 2022 terkait dengan barang di larang ekspor dan barang di larang impor tidak tersosialisasi secara masif, baik dari segi penerbitannya maupun dari segi penegakannya.
Pasalnya, genap setahun di tekennya peraturan tersebut, pemerintah baru gencar menindak persoalan ini setelah titah yang keluar langsung dari Presiden Joko Widodo. Hal ini semakin menguat ketika di temukannya fakta gerakan impor secara ilegal, puluhan hingga ratusan dalam satuan bal (puluhan ton) berisi baju bekas itu di temukan dan di berantas secara mutlak oleh pemerintah. Mulai dari penyitaan dan bumi hangus dengan cara di bakar. Walau kemudian sampai mungkin tulisan ini di baca, jual beli baju bekas impor masih tetap eksis, dan di gandrungi oleh banyak orang khususnya kaula muda.
Fenomena ini mengingatkan saya pada ingatan masa kecil saat sedang berupaya mengajukan proposal pengadaan barang yang saya suka kepada orangtua saya. Tentu saja pemicunya adalah, “Temen-temen udah pada punya sandal dengan merek itu, Pak, masa saya belum punya,” kira-kira begitulah rengekan saya kala itu.
Dilihat dari perspektif manusia sebagai makhluk yang bertumbuh, agaknya kita akan bersepakat bahwa hal tersebut merupakan sifat kekanak-kanakan yang notabene memiliki kecenderungan manajemen emosional yang belum stabil. Maka wajar kalau kemudian kita berpendapat, “Yah, namanya juga anak-anak!”
Kisah singkat di atas menganalogikan masih masifnya jual beli baju bekas impor itu umumnya hanya didasari pada alasan emosional si pembeli untuk mengejar suatu merek tertentu saja.
Mengaitkan dengan rumpun sosiologi, sebuah teori yang di cetus oleh Emile Durkheim menyebutkan bahwa masyarakat sebagai susunan struktur memiliki kecenderungan untuk mempengaruhi satu sama lain. Senada dengan itu, maka merupakan hal yang tidak asing lagi saat fenomena sosial budaya di lingkungan masyarakat kita mulai terbentuk atas nama mengejar pujian. Misalnya, “Wah, bajunya branded,” sebagai status quo mereka.
Mematikan Kreativitas
Terkuaknya beberapa skandal bisnis pakaian bekas ini membuahkan ingatan saya pada sebuah teori yang dikemukakan oleh Robert M. Sherwood tentang stimulus pertumbuhan ekonomi. Selain jelas bahwa impor yang dilakukan secara ilegal merupakan hal yang tidak dibenarkan di mata hukum.
Kata Robert, teori tentang stimulus pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu dari beragam teori yang menggawangi fondasi rezim kekayaan intelektual. Hal itu semakin kuat kalau kita menyepakati asumsi bahwa bisnis thrifting (pakaian bekas) merupakan hal yang dapat mematikan daya kreativitas putra/putri bangsa dalam membangun iklim wirausaha bangsa yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
Padahal, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) melalui banyak siaran di kanal media sosial sudah menggalakkan sosialisasi. Terkait hal tersebut dan memodifikasi berbagai prosedur birokratis yang terkesan “ribet” itu menjadi lebih user friendly (semakin mudah). Misalnya, penetapan “Tahun Merek” sebagai peta jalan pada 2023, lalu program yang mengadaptasi perkembangan. Digital seperti POP HC (Persetujuan Otomatis Pencatatan) dan POP Merek (Persetujuan Otomatis Perpanjangan Merek).
Hal tersebut di lakukan semata-mata untuk membantu sebanyak mungkin masyarakat untuk teredukasi. Oleh sistem yang di amanatkan konstitusi, dan memandang kekayaan intelektual sebagai hal yang ramah di masyarakat. Tapi akan lebih berimbang kalau kita juga membahas bagaimana kemudian fenomena (masih) mengguritanya bisnis. Thrifting itu salah satunya disebabkan oleh ketidakmampuan penegak hukum dalam menjalankan tugasnya secara maksimal.
Pasalnya, kalau toh, pelanggarannya terjadi di teritori kepabeanan, maka asumsi yang bermuatan konsekuensi logisnya adalah. “Pantas saja lembaganya sedang (dapat catatan merah) akhir-akhir ini.” Maka saya berhemat, sebagai daya tawar yang mutlak adalah tentang sinkronisasi masing-masing. Lembaga plat merah dalam menjalankan tugas sebagai abdi negara.
Di lihat dari fakta bahwa DJKI sudah gencar melakukan sosialisasi di semua tingkatan, akan menjadi percuma kalau dari pihak kepabeanan. Sebagai pemegang otoritas penuh atas keluar masuknya barang di negara ini tidak mengamini gerakan DJKI. Ungkapan tersebut sekaligus mengamini peribahasa bagai melukis di atas air. Ya, percuma.
Tapi, masalah terkuatnya memang menghantui tubuh masyarakat. Karena di era keterbukaan informasi, masyarakat kita kok masih saja gagal paham. Dalam memahami pentingnya menggunakan produk lokal dan melakukan pembelian (konsumtif) atas dasar emosional saja?
Beragam gejolak sosial ini juga terjadi karena barangkali kaitannya dengan asupan informasi yang tidak tepat sasaran di media sosial. Orang-orang di media sosial hari ini kalau belum pamer di media sosial merasa hidupnya belum lengkap. Maka wajar pula perlombaan gengsi fashion di jagat maya mulai kuat menggunung.
Di tambah kekecewaan masyarakat luas terhadap beberapa pejabat yang memberikan contoh pamer harta kekayaan semakin kuat menghangatkan selimut kekecewaan di masyarakat. Kesimpulan sederhananya, rasa geram yang menguat tapi tak mampu berbuat banyak adalah rumus kekecewaan paling mujarab abad ini.
Membangun Kesadaran Komunal
Gejala sosial ini perlu di tanggapi dengan baik dari hulu hingga ke hilir. Perilaku para pejabat yang mencla-mencle itu jangan sampai tercium oleh masyarakat, bahkan harus di sudahi. Sinkronisasi di beberapa lini lembaga pemerintahan juga perlu di kuatkan.
Kalau di lihat-lihat, agaknya pejabat publik kita ini bersifat kekanak-kanakan; amandemen kebijakan baru di laksanakan kalau RI 1 sudah gerah. Masa sih, harus nunggu keluarnya titah dari RI 1 dulu baru menjalankan tugas, pokok, dan fungsinya secara lebih maksimal. Orang dewasa nggak begitu.
Walau demikian, kita juga sebagai warga sipil perlu membangun kesadaran komunal yang berbasis meluhurkan nilai-nilai bangsa. Salah satunya yang selalu di gencarkan oleh pemerintah adalah pengamalan “bangga menggunakan produk lokal.” Jangan memilih produk hanya dari melihat merek (luar negeri)-nya saja, yang perlu di lihat juga adalah kondisi dan kualitas barangnya.
Sebagai alinea yang akan menjadi penutup artikel ini, saya berhemat untuk kita semua tetap terus dan saling bahu membahu mengimplemantasikan nilai luhur bangsa kita. Jangan sampai kita memiliki pandangan untuk melakukan suatu hal serupa yang di lakukan oleh pejabat “red list”, lalu menirunya. Bagi kita yang sudah bukan lagi berstatus anak-anak, manajemen emosi haruslah lebih terstruktur untuk memahami makna di balik setiap nomena. Misalnya saja, meninjau kembali mengapa harus memilih produk lokal? Karena dengan begitu, setidaknya kita sedikit berkontribusi menumbuhkan perekonomian negara sebagaimana teori yang menggawangi fondasi rezim kekayaan intelektual.